Sepotong
Kenangan Manis
Aku menyeruput coklat panas di hadapanku. Menyesapnya
perlahan, membiarkan sensasi hangat mengaliri tenggorokanku. “Bu, hari ini aku akan
pulang malam.”
“Sayang sekali. Hari ini ibu akan kesepian lagi di
rumah.” balas ibu tanpa menatapku.
Aku tersenyum. Tidak menanggapi. Sluuurrpp! Segelas cokelat panas sudah
kuhabiskan pagi ini. Ibu menghampiriku dan memasangkan syal merah di leherku.
“Hari ini sangat dingin. Jaga selalu kesehatanmu, okay?”
Aku mengangguk. Maaf
aku berbohong lagi padamu. “Aku pergi dulu. Sampai jumpa.” pamitku sambil
melambaikan tangan, kemudian melengang keluar rumah.
Aku menyusuri jalanan yang dipenuhi salju dalam diam
sambil sesekali mengeratkan jaketku. Hah, rasanya bibirku mulai kaku karena kedinginan.
Tiba-tiba rasa bersalah muncul di benakku mengingat wajah ibu. Aku mengaku
pergi ke rumah Haruka, padahal aku akan menghabiskan waktuku seharian ini
bersama Kakeru, pacarku.
Maaf Ibu, hari ini aku terpaksa membohongimu lagi.
Jika saja kau mengizinkanku untuk berpacaran, aku pasti tidak akan membohongimu
terus-terusan. Saat gadis seusiaku seharusnya menikmati masa merah jambu,
mengapa kau malah melarangku? Air mataku menetes. Aku tahu ibu akan kesepian
hari ini karena ayah sedang ke luar kota. Aku juga melihat raut tak rela saat
aku akan pergi tadi. Tetapi aku sudah berjanji akan menghabiskan waktu bersama
Kakeru hari ini.
“Kakeru-san.” Aku mengetuk pintu rumahnya tiga kali.
Tidak ada sahutan. Aku mengulanginya lagi. Namun tetap tidak ada sahutan. Apa
sih, yang sedang dia lakukan di dalam? Karena tidak tahan dengan hawa dingin,
aku memutuskan memutar kenop pintu. Tidak terkunci. Aku langsung melengang
masuk.
Gelap. Kurasa Kakeru tidak ada di rumah. Aku
mengedarkan pandangan ke sekeliling, berusaha mencari letak saklar lampu. Itu
dia!
Ceklek! Lampu menyala seiring dengan sebuah tangan kokoh
memelukku dari belakang. Aku terkejut. Tiba-tiba semburat hangat menjalari
pipiku. Oh tidak, aku bisa membayangkan wajahku semerah kepiting rebus
sekarang.
Kakeru tertawa melihatku salah tingkah “Hikari, ini
yang kusuka darimu. Kau selalu terlihat seperti boneka saat sedang malu.”
Aku membalikkan badanku, menatap Kakeru yang masih
tertawa. Sudah satu tahun aku berpacaran dengan Kakeru, namun entah mengapa aku
masih merasa malu saat Kakeru menghadiahkan perhatian-perhatian kecil, seperti
tadi misalnya.
“Emm.. Jadi apa yang akan kita lakukan hari ini?”
tanyaku bersemangat.
Sinar mata Kakeru perlahan meredup. Entah mengapa,
pertanyaan sederhana itu membuat wajahnya yang semula bahagia menjadi sedih.
Kakeru diam sambil memandang mataku sendu.
“Kakeru? Kau tidak apa-apa?” tanyaku khawatir.
“Ah.., Hikari ada sesuatu yang keliru selama ini.
Maafkan aku.”
“Apanya yang keliru?”
Kakeru menghela napas panjang dan meraih tanganku.
“Awalnya aku berpikir bahwa aku mencintaimu saat aku memintamu jadi pacarku
setahun yang lalu.”
Aku merasa hatiku tertohok begitu keras. Sangat
sakit. Awalnya?
“Maafkan aku, Hikari. Mungkin kita memang tidak
seharusnya terus bersama. Rasa cinta yang kuyakini untukmu itu ternyata hanya
sebuah perasaan sayang seorang kakak pada adiknya. Rasa seperti itulah yang
kumiliki untukmu, bukan perasaan cinta dari pria untuk seorang gadis. Aku
memutuskan mengakhirinya sekarang karena tidak mau kita berdua terus tersakiti
oleh perasaan semu.” Kakeru melepaskan tanganku. Ia menunduk. Tangan dan
bahunya bergetar.
Aku memandangnya nanar. Pertahananku runtuh. Setetes
air mata jatuh ke pipiku disusul oleh butiran air mata yang lain. “A-apa ada
gadis lain yang singgah ke hatimu?” suaraku serak.
“Tidak. Aku hanya merasa semua ini salah. Aku tidak
pernah merasakan jantungku berdegup kencang saat di sampingmu. Aku…” Kakeru
mengangkat kepalanya dan seketika ucapannya terhenti melihat wajahku. “Maaf
membuatmu menangis.” sesalnya.
Aku bergeming dan langsung berlari meninggalkan
rumahnya, tidak peduli salju yang turun semakin lebat. Apakah ini yang kau
sebut menghabiskan waktu bersama? Padahal aku sudah memimpikan akan melakukan
banyak hal menyenangkan hari ini ditemani kehangatan dan tatapan teduhmu. Jadi
hanya itu yang ingin kau katakan sampai memintaku datang? Kakeru, kau yang selama ini kuanggap sebagai orang paling kucintai,
ternyata hanya menganggapku sebatas adikmu.
Aku merasa tidak sanggup lagi menopang berat
tubuhku. Pertahanan kakiku runtuh. Aku terjerembab dalam tumpukan salju.
Pandangan mataku nanar seiring kurasakan bibirku yang mulai kaku. Hawa dingin
merasuk dalam tulang-tulangku. Lama sekali aku terjatuh di salju yang turun
semakin lebat. Hampir saja aku akan mati beku ketika seseorang berlari ke
arahku sambil menjerit. Air matanya berlinang. Ibu, maafkan aku.
0o_o0
Aku mengakhiri ceritaku. Kau orang pertama yang
kuceritakan tentang kisah ini. Revan, kau juga teman ngobrolku pertama di
Indonesia.
Kulihat kau menatapku tanpa ekspresi. “Kau tahu,
setelah kejadian itu dan tahu bahwa aku diam-diam berpacaran, ibu bahkan tidak
memarahiku sama sekali. Bahkan ibu masih sempat tersenyum ketika mengompres
dahiku. Ibu selalu tidur di sampingku selama aku demam.” lanjutku sambil
tersenyum.
Kau tersenyum mendengarnya, “Siapa idolamu?”
Aku menatapmu bingung. Idol? Who is my idol? Mengapa
kau tiba-tiba bertanya tentang hal yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaanmu
sebelumnya?
“Justin Bieber? Taylor Swift? Seorang idol di Jepang? Atau kau seorang Kpopers?
Atau ….?” katamu. Aku tersenyum lebar. Sebutkan saja semua nama orang terkenal
yang kau tahu, maka aku akan menjawabnya ‘ya’. Nyatanya aku punya banyak orang
yang kuidolakan. Benar. Hanya sebatas idola.
Lalu kau menyela, “Baiklah, jadi semua artis itu
idolamu. Tetapi siapa yang paling kau idolakan?”
Aku tertawa hambar, “Hei teman, orang itu tidak ada
dalam daftar orang terkenal yang kau sebutkan bagai kereta api tadi.” jelasku.
Kau heran. “Karena dia adalah ibuku.” sambungku, membuatmu memandangku takjub.
Klise memang. Semua orang pasti menganggap ibunya sebagai
idola. Kau benar, orang-orang itu hanya membual klise, namun aku tidak begitu. Bagiku ibu lebih dari sekedar idola
yang semua gayanya kau tirukan, kau simpan foto-fotonya, dan terinspirasi pada
setiap hal yang ia lakukan. Ibuku lebih dari itu. Karena ia ibarat surgaku dan
malaikat yang memang Tuhan takdirkan untukku. Ibu adalah orang pertama yang
kutemui di dunia setelah aku diciptakan. Aku yang awalnya yang hanya bisa
berbicara ‘baba bubu’, ‘awawawa’, dan sejenisnya; sekarang lihatlah, aku bahkan
bisa berbicara padamu dengan baik dan kau memahaminya. Semua berkat ibu yang
selalu bernyanyi saat memandikanku pada masa kecil dan berbicara padaku
sepanjang hari meski aku tak pernah menjawabmu. Tentu saja. Dulu, bahkan aku
tidak tahu siapa bidadari yang menimangku setiap hari itu.
Ibu juga guru pertamaku. Sebelum aku bertemu dengan
guru di taman kanak-kanak, ibu terlebih dahulu mengajariku abjad dan
mengenalkanku nama-nama hewan dan buah. Ibu tak pernah marah meski dulu aku
suka terbalik menyebut antara rusa dan kuda; serta apel dan pir. Ibu adalah apa
pun yang pertama di dunia.
Aku memandangmu sambil menangkup roti bakar yang
entah sejak kapan dihidangkan pelayan kafe, “Kau masih mau bertanya mengapa aku
begitu mengidolakan ibu?”
Kau menggeleng lalu bertanya, “Orang kedua yang kau
idolakan?”
“Ayahku.” Aku baru saja akan menceritakan tentang
cinta pertamaku itu. Namun aku terlonjak saat melirik jam tangan. “Oh, tidak!
Aku harus pulang. Sudah senja. Kita sambung ceritanya lain kali.” Aku berjalan
cepat dan melambaikan tangan padamu yang memandangku tak rela. Pertemuan kita selanjutnya, kaulah yang
harus menceritakan idolamu, batinku. Sudut bibirku terangkat. Aku menemukan
teman yang asyik hari ini.
0o_o0