Selasa, 03 April 2018

Sepotong Kenangan Manis (Cerpen Femii Active Girl)



Sepotong Kenangan Manis

Aku menyeruput coklat panas di hadapanku. Menyesapnya perlahan, membiarkan sensasi hangat mengaliri tenggorokanku. “Bu, hari ini aku akan pulang malam.”
“Sayang sekali. Hari ini ibu akan kesepian lagi di rumah.” balas ibu tanpa menatapku.
Aku tersenyum. Tidak menanggapi. Sluuurrpp! Segelas cokelat panas sudah kuhabiskan pagi ini. Ibu menghampiriku dan memasangkan syal merah di leherku. “Hari ini sangat dingin. Jaga selalu kesehatanmu, okay?”
Aku mengangguk. Maaf aku berbohong lagi padamu. “Aku pergi dulu. Sampai jumpa.” pamitku sambil melambaikan tangan, kemudian melengang keluar rumah.
Aku menyusuri jalanan yang dipenuhi salju dalam diam sambil sesekali mengeratkan jaketku. Hah, rasanya bibirku mulai kaku karena kedinginan. Tiba-tiba rasa bersalah muncul di benakku mengingat wajah ibu. Aku mengaku pergi ke rumah Haruka, padahal aku akan menghabiskan waktuku seharian ini bersama Kakeru, pacarku.
Maaf Ibu, hari ini aku terpaksa membohongimu lagi. Jika saja kau mengizinkanku untuk berpacaran, aku pasti tidak akan membohongimu terus-terusan. Saat gadis seusiaku seharusnya menikmati masa merah jambu, mengapa kau malah melarangku? Air mataku menetes. Aku tahu ibu akan kesepian hari ini karena ayah sedang ke luar kota. Aku juga melihat raut tak rela saat aku akan pergi tadi. Tetapi aku sudah berjanji akan menghabiskan waktu bersama Kakeru hari ini.
“Kakeru-san.” Aku mengetuk pintu rumahnya tiga kali. Tidak ada sahutan. Aku mengulanginya lagi. Namun tetap tidak ada sahutan. Apa sih, yang sedang dia lakukan di dalam? Karena tidak tahan dengan hawa dingin, aku memutuskan memutar kenop pintu. Tidak terkunci. Aku langsung melengang masuk.
Gelap. Kurasa Kakeru tidak ada di rumah. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, berusaha mencari letak saklar lampu. Itu dia!
Ceklek! Lampu menyala seiring dengan sebuah tangan kokoh memelukku dari belakang. Aku terkejut. Tiba-tiba semburat hangat menjalari pipiku. Oh tidak, aku bisa membayangkan wajahku semerah kepiting rebus sekarang.
Kakeru tertawa melihatku salah tingkah “Hikari, ini yang kusuka darimu. Kau selalu terlihat seperti boneka saat sedang malu.”
Aku membalikkan badanku, menatap Kakeru yang masih tertawa. Sudah satu tahun aku berpacaran dengan Kakeru, namun entah mengapa aku masih merasa malu saat Kakeru menghadiahkan perhatian-perhatian kecil, seperti tadi misalnya.
“Emm.. Jadi apa yang akan kita lakukan hari ini?” tanyaku bersemangat.
Sinar mata Kakeru perlahan meredup. Entah mengapa, pertanyaan sederhana itu membuat wajahnya yang semula bahagia menjadi sedih. Kakeru diam sambil memandang mataku sendu.
“Kakeru? Kau tidak apa-apa?” tanyaku khawatir.
“Ah.., Hikari ada sesuatu yang keliru selama ini. Maafkan aku.”
“Apanya yang keliru?”
Kakeru menghela napas panjang dan meraih tanganku. “Awalnya aku berpikir bahwa aku mencintaimu saat aku memintamu jadi pacarku setahun yang lalu.”
Aku merasa hatiku tertohok begitu keras. Sangat sakit. Awalnya?
“Maafkan aku, Hikari. Mungkin kita memang tidak seharusnya terus bersama. Rasa cinta yang kuyakini untukmu itu ternyata hanya sebuah perasaan sayang seorang kakak pada adiknya. Rasa seperti itulah yang kumiliki untukmu, bukan perasaan cinta dari pria untuk seorang gadis. Aku memutuskan mengakhirinya sekarang karena tidak mau kita berdua terus tersakiti oleh perasaan semu.” Kakeru melepaskan tanganku. Ia menunduk. Tangan dan bahunya bergetar.
Aku memandangnya nanar. Pertahananku runtuh. Setetes air mata jatuh ke pipiku disusul oleh butiran air mata yang lain. “A-apa ada gadis lain yang singgah ke hatimu?” suaraku serak.
“Tidak. Aku hanya merasa semua ini salah. Aku tidak pernah merasakan jantungku berdegup kencang saat di sampingmu. Aku…” Kakeru mengangkat kepalanya dan seketika ucapannya terhenti melihat wajahku. “Maaf membuatmu menangis.” sesalnya.
Aku bergeming dan langsung berlari meninggalkan rumahnya, tidak peduli salju yang turun semakin lebat. Apakah ini yang kau sebut menghabiskan waktu bersama? Padahal aku sudah memimpikan akan melakukan banyak hal menyenangkan hari ini ditemani kehangatan dan tatapan teduhmu. Jadi hanya itu yang ingin kau katakan sampai memintaku datang? Kakeru, kau yang selama ini kuanggap sebagai orang paling kucintai, ternyata hanya menganggapku sebatas adikmu.
Aku merasa tidak sanggup lagi menopang berat tubuhku. Pertahanan kakiku runtuh. Aku terjerembab dalam tumpukan salju. Pandangan mataku nanar seiring kurasakan bibirku yang mulai kaku. Hawa dingin merasuk dalam tulang-tulangku. Lama sekali aku terjatuh di salju yang turun semakin lebat. Hampir saja aku akan mati beku ketika seseorang berlari ke arahku sambil menjerit. Air matanya berlinang. Ibu, maafkan aku.
0o_o0
Aku mengakhiri ceritaku. Kau orang pertama yang kuceritakan tentang kisah ini. Revan, kau juga teman ngobrolku pertama di Indonesia.
Kulihat kau menatapku tanpa ekspresi. “Kau tahu, setelah kejadian itu dan tahu bahwa aku diam-diam berpacaran, ibu bahkan tidak memarahiku sama sekali. Bahkan ibu masih sempat tersenyum ketika mengompres dahiku. Ibu selalu tidur di sampingku selama aku demam.” lanjutku sambil tersenyum.
Kau tersenyum mendengarnya, “Siapa idolamu?”
Aku menatapmu bingung. Idol? Who is my idol? Mengapa kau tiba-tiba bertanya tentang hal yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaanmu sebelumnya?
“Justin Bieber? Taylor Swift? Seorang idol di Jepang? Atau kau seorang Kpopers? Atau ….?” katamu. Aku tersenyum lebar. Sebutkan saja semua nama orang terkenal yang kau tahu, maka aku akan menjawabnya ‘ya’. Nyatanya aku punya banyak orang yang kuidolakan. Benar. Hanya sebatas idola.
Lalu kau menyela, “Baiklah, jadi semua artis itu idolamu. Tetapi siapa yang paling kau idolakan?”
Aku tertawa hambar, “Hei teman, orang itu tidak ada dalam daftar orang terkenal yang kau sebutkan bagai kereta api tadi.” jelasku. Kau heran. “Karena dia adalah ibuku.” sambungku, membuatmu memandangku takjub.
Klise memang. Semua orang pasti menganggap ibunya sebagai idola. Kau benar, orang-orang itu hanya membual klise, namun aku tidak begitu. Bagiku ibu lebih dari sekedar idola yang semua gayanya kau tirukan, kau simpan foto-fotonya, dan terinspirasi pada setiap hal yang ia lakukan. Ibuku lebih dari itu. Karena ia ibarat surgaku dan malaikat yang memang Tuhan takdirkan untukku. Ibu adalah orang pertama yang kutemui di dunia setelah aku diciptakan. Aku yang awalnya yang hanya bisa berbicara ‘baba bubu’, ‘awawawa’, dan sejenisnya; sekarang lihatlah, aku bahkan bisa berbicara padamu dengan baik dan kau memahaminya. Semua berkat ibu yang selalu bernyanyi saat memandikanku pada masa kecil dan berbicara padaku sepanjang hari meski aku tak pernah menjawabmu. Tentu saja. Dulu, bahkan aku tidak tahu siapa bidadari yang menimangku setiap hari itu.
Ibu juga guru pertamaku. Sebelum aku bertemu dengan guru di taman kanak-kanak, ibu terlebih dahulu mengajariku abjad dan mengenalkanku nama-nama hewan dan buah. Ibu tak pernah marah meski dulu aku suka terbalik menyebut antara rusa dan kuda; serta apel dan pir. Ibu adalah apa pun yang pertama di dunia.
Aku memandangmu sambil menangkup roti bakar yang entah sejak kapan dihidangkan pelayan kafe, “Kau masih mau bertanya mengapa aku begitu mengidolakan ibu?”
Kau menggeleng lalu bertanya, “Orang kedua yang kau idolakan?”
“Ayahku.” Aku baru saja akan menceritakan tentang cinta pertamaku itu. Namun aku terlonjak saat melirik jam tangan. “Oh, tidak! Aku harus pulang. Sudah senja. Kita sambung ceritanya lain kali.” Aku berjalan cepat dan melambaikan tangan padamu yang memandangku tak rela. Pertemuan kita selanjutnya, kaulah yang harus menceritakan idolamu, batinku. Sudut bibirku terangkat. Aku menemukan teman yang asyik hari ini.
0o_o0